Assalamualaikum Saudara dan Saudari ku...

Salam sejahtera untuk kita semua....
Semoga kita selalu berada dalam lindungan Allah S.W.T.....Amin

Kamis, 29 Maret 2012

Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah

Menyiasati Kurikulum dan Pelajaran Sastra Indonesia di Sekolah:
Kiat untuk Mafhum dan Berbenah
Oleh : Muhammad Yusuf









Pengantar

Setiap kali terdengar kabar akan diberlakukannya suatu kurikulum baru, banyak pihak yang buru-buru mengambil ancang-ancang. Namun tidak sedikit pula yang tercengang-cengang, atau malahan berang. Yang segera mengambil ancang-ancang tiada lain tentu adalah pihak yang sangat tergantung, bertumpu, atau boleh juga dikatakan memanfaatkan, keberadaan suatu kurikulum. Pihak ini, siapa lagi, kalau bukan penerbit buku pelajaran dan tentu juga adalah pihak sekolah yang terimbas langsung. Sedangkan yang seringkali menjadi tercengang-cengang biasanya adalah awam, sementara yang berang adalah orangtua siswa yang mau tidak mau harus menyisihkan atau menyiapkan lagi sejumlah dana bagi keperluan belanja buku-buku pelajaran itu.

Tidak kalah pentingnya pula untuk ditengarai adalah banyaknya muncul sikap sinis, pesimis, skeptis, apatis, dan bahkan selalu berprasangka buruk terhadap bakal datangnya suatu kurikulum. Kelompok ini bukan siapa-siapa tetapi justru kebanyakan adalah para guru atau juga para cerdik pandai dalam bidang pengajaran yang lebih sering memandang suatu perubahan sebagai suatu ancaman. Dari sisi atau aspek yang bersebab dari ketidakpahaman, kecenderungan semacam ini mungkin dapat dikatakan wajar, akan tetapi mengapa harus sisi negatif semacam itu yang dikemukakan?

Munculnya seloroh, keratabasa, atau plesetan terhadap metode pengajaran yang populer disebut dengan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) sebagai Cah Bodo Soyo Akeh (= Siswa Bodoh Semakin Banyak)[1] atau terhadap KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) sebagai Kurikulum Bakalan Konyol[2] atau Kurikulum Berbasis Kebingungan[3] maupun juga KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) sebagai Kurikulum Tingkat Sengketa Pembelajaran[4] atau juga sebagai Kurikulum Tidak Siap Pakai[5] memperlihatkan adanya nada sinis itu. Sekiranya kesinisan itu muncul sebagai hasil dari suatu pelaksanaan, penerapan, maupun dari pemahaman terhadap kurikulum atau metode pengajaran yang ada untuk jangka waktu tertentu dalam sosialisasi maupun desiminasinya, tentu sikap yang sedemikian itu dapat diterima oleh banyak pihak. Akan tetapi, jika dasar kesinisan itu hanyalah penerusan belaka dari kesinisan yang ada sebelumnya tanpa mengkaji terlebih dahulu esensinya atau hanya sekadar “katanya”, maka kinilah saatnya bagi kita untuk mengaca: jangan-jangan ada dan banyak yang tidak kita mafhumi dari kurikulum yang selama ini telah diberlakukan maupun yang tengah dipopulerkan. Oleh karena itu, kalau kita mempunyai kesadaran berbenah, berbagai aspek dan kenyataan harus menjadi pumpunan perhatian maupun pertimbangan.

Realitas Kompetensi Guru

Hal pertama yang agaknya sangat perlu kita sadari adalah bahwa ditilik dari instrumental input, kualitas dan kuantitas guru di Indonesia dapat dikatakan memang sangat rendah. Padahal, suatu kurikulum yang apa pun namanya atau bagaimanapun karakteristiknya, tetap selalu akan bertumpu pada sosok yang namanya guru ini. Bahkan ketika guru lebih diposisikan sebagai semacam fasilitator atau sekadar tut wuri handayani sekalipun, tidak berarti guru kehilangan peran.

Sekarang perlu kita tengok terlebih dahulu perihal kompetensi guru di Indonesia. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional tahun 2004 menyatakan bahwa guru SD negeri yang tidak memenuhi kriteria layak untuk mengajar sesuai dengan bidang keilmuannya berjumlah 558.675 orang atau sebesar 45,2% (pada SD swasta sebanyak 50.542 orang atau setara dengan 4,1%) dari total jumlah guru SD sebanyak 1.234.927 orang. Di tingkat SMP terdapat 108.811 guru negeri dan 58.832 guru swasta dari total guru sebanyak 466.748 orang (35,9%) yang dinilai tidak layak mengajar. Sementara untuk tingkat SMA terdapat 35.424 guru negeri dan 40.260 guru swasta dari jumlah keseluruhan 230.114 orang (32.8%) dinyatakan tidak layak mengajar. Sedangkan di tingkat SMK, dari jumlah keseluruhan guru yang berjumlah 147.559 orang, yang dianggap tidak layak mengajar berjumlah 20.678 orang (guru negeri) dan 43.283 orang (guru swasta) atau sama dengan 43,3%.[6] Dari data semacam ini, apa yang dapat kita sematkan sebagai komentar? Memprihatinkan, karena tampaknya banyak guru yang “asal menjadi guru” tanpa suatu tolok ukur kompetensi tertentu atau barangkali juga memang banyak guru yang “tersesat” dan salah dalam memahami bidang keilmuan. Dengan kenyataan semacam ini, profesionalisme semacam apa yang dapat diharapkan?

Bagaimana dengan para guru yang mengajar bidang sastra di sekolah-sekolah dasar maupun menengah? Dari pengalaman sebagai widyaiswara di PPPG Bahasa semenjak tahun 2001, dapat diperoleh kesan bahwa apa yang ditunjukkan oleh data dari Balitbang Depdiknas tersebut bukanlah rekayasa belaka. Dengan pengertian lain, secara diam-diam saya pun menengarai bahwa banyak guru sastra yang sesungguhnya bukan pembaca sastra atau lebih-lebih pencinta sastra. Kalaupun mereka pernah membaca karya sastra, karya-karya tersebut adalah karya-karya yang mereka peroleh atau pelajari sewaktu dulu berkuliah dan tidak sedikit pula yang hanya membaca ringkasan karya-karya sastra itu. Sekiranya dugaan ini benar, dapat dibayangkan perihal miskinnya materi maupun kreativitas dari para guru dalam pelaksanaan pengajaran mereka.

Berdasarkan gambaran yang tentu tidak sepenuhnya mampu memberikan representasi akan kondisi guru ini, kemudian jelas akan timbul pertanyaan besar berkenaan dengan kurikulum 2006 atau yang disebut dengan KTSP, yaitu dalam kaitan mencari atau memanfaatkan bahan ajar atau materi dalam silabus yang sesungguhnya leluasa dibuatnya, sementara wawasan guru bersangkutan tentang sastra sangat terbatas. Namun terlepas dari kondisi umum guru yang sedemikian ini, KTSP sesungguhnya sangat sejalan dengan dinamika sosial-politik dewasa ini yang banyak bertumpu pada ancangan desentralistik, khususnya dalam pelaksanaan otonomi dalam berbagai ranah kehidupan, termasuk tentu dalam pengelolaan pendidikan dengan konsep manajemen berbasis sekolah.

Maka, siap atau tidak siap, yang segera harus dilakukan adalah memperkaya atau juga menyadarkan para guru akan posisi strategis mereka sehingga sekiranya ada yang memang “tersesat” selama ini, dapat dan mampu menata atau berbenah dalam menghadapi kurikulum yang dapat dikatakan paling lengkap ini. Dikatakan paling lengkap, seperti dinyatakan oleh Idris Apandi, KTSP dapat disimpulkan mengandung prinsip pengembangan yang (1) berpusat pada potensi, perkembangan kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya; (2) beragam dan terpadu; (3) tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan; (4) relevan dengan kebutuhan kehidupan; (5) menyeluruh dan berkesinambungan; (6) belajar sepanjang hayat; dan (7) seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.[7]

Pembelajaran Sastra dalam Kurikulum

Istilah “pengajaran” yang mempunyai makna ‘proses, cara, perbuatan mengajar atau mengajarkan; perihal mengajar; segala sesuatu mengenai mengajar’[8] belakangan ini sudah tidak populer lagi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Yang kini lebih populer dan biasa diucapkan adalah istilah “pembelajaran” sejalan dengan semangat perubahan yang terjadi. “Pengajaran” banyak dianggap sebagai kurang tepat karena di dalamnya terkesan mengandung pengertian bahwa hanya pihak guru yang berperan aktif, sementara siswa atau peserta didik menerima saja apa-apa yang dicekokkan oleh sang guru. Sedangkan “pembelajaran” lebih dipilih dan dipergunakan secara formal karena di dalam kata ini aktivitas yang terjadi adalah seimbang antara pihak guru dan anak didiknya; mereka sama-sama aktif dan—diharapkan—juga sama-sama kreatif.[9]

Perihal pergeseran keaktifan dari yang semula lebih “dikuasai” oleh para guru dan pada gilirannya kini “dibebankan” kepada para siswa, tidak terlepas dari kebijakan, ancangan, maupun arah kurikulum yang dalam jangka waktu tertentu mengalami perubahan, diversifikasi, maupun modifikasi seiring dengan berbagai kemajuan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Pada intinya, seperti dinyatakan oleh Sarwidji Suwandi, penyempurnaan atau pembaruan kurikulum dilakukan dalam rangka mengantisipasi berbagai perubahan dan tuntutan masa depan yang niscaya akan dihadapi oleh para siswa sehingga mereka akan mampu berpikir global dan bertingkah laku sesuai dengan karakteristik maupun potensi tempatan atau lokal.[10]

Dalam kaitannya dengan upaya memahami perubahan-perubahan yang pernah terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia, khususnya lagi yang berhubungan dengan pengajaran dan pembelajaran sastra, perlu sedikit ada semacam tinjauan terhadap “perjalanan” yang sudah dilalui.

Kurikulum di Indonesia sudah berganti beberapa kali semenjak pertama kali dicanangkan pada tahun 1950.[11] Pergantian atau perubahan kurikulum merupakan hal yang wajar sebagai bentuk aktualisasi maupun responsi dari perkembangan yang terjadi di dalam kehidupan. Akan tetapi, setiap ada modifikasi dalam kurikulum, masyarakat pada umumnya selalu memberikan tanggapan yang pada intinya kurang menggembirakan; bukan karena masyarakat itu anti-perubahan mengenai kandungan kurikulum atau anti-kemajuan, melainkan karena berdampak pada buku-buku teks yang juga berganti. Dengan bergantinya buku-buku teks atau buku-buku pelajaran itu berarti para orangtua murid harus menyediakan tambahan dana untuk membeli buku-buku tersebut, sebagaimana sudah disebutkan di awal tulisan.

Sementara itu, menurut Suyanto, kurikulum memang harus sering diganti sesuai dengan dinamika atau perubahan dalam masyarakat. Secara periodik kurikulum memang harus diubah.[12] Perubahan kurikulum itu, menurut Tarno, dosen Universitas Nusa Cendana,[13] merupakan suatu peristiwa yang wajar dan memang perlu terjadi atau perlu dilakukan karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi juga selalu muncul. Tanpa mengikuti perkembangan atau kemajuan yang ada, pendidikan akan jauh tertinggal. Bahwa ada semacam trauma yang melanda masyarakat luas dengan berubahnya kurikulum, hal itu tidak dapat dipungkiri. Bahkan bagi para guru sendiri, perubahan kurikulum pun tidak selamanya disambut dengan gembira. Arif Budi Christianto misalnya, seorang guru di sekolah swasta di Jakarta, menyatakan bahwa implementasi kurkikulum baru—dalam hal ini KBK—masih lebih sering membingungkan para guru.[14]

Kembali pada “perjalanan” sastra (dan bahasa) Indonesia dalam kurikulum, dapat diberikan gambaran bahwa semenjak tahun 1950 itu kurikulum telah mengalami perubahan pada tahun-tahun 1958, 1964, 1968, 1975/1976, dan 1984 untuk SMA, sementara pada tahun 1987 perubahan terjadi pada kurikulum untuk SMP. Sejak awal, bidang studi sastra Indonesia terintegrasi dalam bidang studi bahasa Indonesia, sampai kurikulum 1975/1976. Baru pada kurikulum 1984—khususnya untuk SMA—nama bidang studi ini berubah menjadi Bahasa dan Sastra Indonesia dalam program inti, serta Sastra Indonesia dikhususkan untuk program pilihan Pengetahuan Budaya. Namun dalam kenyataannya, menurut Tarno[15] lagi, pengajaran sastra di SMP maupun SMA bukan berupa program pengetahuan budaya. Sastra Indonesia hanya semata-mata menumpang pada pengajaran bahasa Indonesia dan diberikan hanya selama 2-3 jam per minggu. Lebih lanjut Tarno menegaskan seperti di bawah ini.

Pengajaran sastra di sini lebih banyak kegiatannya untuk mempelajari ragam bahasa, di sisi-sisi ragam bahasa lainnya. Hal ini terlihat bahwa pembobotan beban materinya hanya seperenam dari seluruh materi bidang studi/mata pelajaran Bahasa Indonesia, dengan nama pokok bahasan Apresiasi Bahasa dan Sastra Indonesia. Dengan pemberian nama ini sudah terlihat terjadinya penyempitan kedudukan sastra.[16]

Sementara itu, meskipun pada kurikulum 1994 masih juga terasa adanya upaya mengintegralkan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, kurikulum 1994 memberi penekanan akan pentingnya membaca secara langsung karya-karya sastra, dan bukan sekadar membaca ringkasan atau sinosipnya.[17] Namun demikian, di dalam praktiknya, pembelajaran sastra ibarat anak tiri yang hampir-hampir tidak mendapat perhatian yang selayaknya dari para guru. Para guru yang mengajar sastra hampir selalu merupakan juga guru yang mengajar bahasa. Hal semacam ini sebenarnya tidak menjadi masalah sekiranya para guru itu juga mempunyai perhatian yang sama besarnya; namun kenyataan cenderung mampu membuktikan bahwa umumnya para guru itu sekadar menyambi saja tugas sebagai pengajar sastra. Kendati demikian, jika diamati secara saksama, realitas yang semacam ini bukan sepenuhnya kesalahan para guru melainkan kesalahan paradigma pengajaran maupun pembelajaran bahasa dan sastra yang pernah diterima oleh para guru itu ketika mereka masih dalam pendidikan.

Kenyataan yang cukup memprihatinkan mengenai pengajaran sastra di sekolah, bukan karena porsinya yang hanya seperenam dari seluruh materi bidang studi/mata pelajaran Bahasa Indonesia atau alokasi waktu yang sangat minimal itu, melainkan juga karena strategi pengajarannya yang mengkhianati jatidiri sastra itu sendiri. Metode menghafal misalnya, yang dapat saja berupa menghafal nama-nama para sastrawan, menghafal peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan kegiatan sastra atau peristiwa sastra, maupun menghafal contoh-contoh soal terdahulu dengan jawaban yang tersedia,[18] yang semata-mata hanya untuk memperoleh nilai bagus pada ujian akhir maupun pada kuis-kuis yang diadakan, sungguh-sungguh telah mengingkari dan sekaligus mengkhianati hakikat sastra.

Dikatakan sebagai “telah mengingkari dan sekaligus mengkhianati hakikat sastra” karena sastra, bagaimanapun, adalah sebuah karya seni yang berbeda dengan ilmu alam maupun ilmu-ilmu lain yang serba dapat diukur, dihitung, maupun diduga secara tetap dan pasti. Sastra, seperti halnya karya-karya seni yang lain, harus ditempatkan dan diperlakukan sebagaimana karya fiktif, imajinatif, kreatif, serta berdimensi makna yang tidak tetap. Dengan jatidiri yang sedemikian itu, maka jika sastra juga diperlakukan sama dengan bidang ilmu lainnya, yang terjadi kemudian tentu adalah “seolah-olah” pembelajar telah memahami atau mengkaji sastra tetapi sesungguhnya bukan mengapresiasinya. Kenyataan seperti ini tentu merupakan hal yang tidak semestinya terjadi dan memang tidak boleh terjadi.

Menanggapi realitas semacam itu, banyak pengamat pendidikan maupun pengamat sastra pada khususnya, yang telah melemparkan pendapat dan kritik tajam yang pada intinya menghendaki dikeluarkannya sastra dari “bagian” bahasa Indonesia.[19] Kalau bukan suatu keinginan untuk sampai “mengeluarkan” sastra dari kurikulum, banyak pihak menghendaki agar ada pemisahan yang tegas antara guru bahasa Indonesia dengan guru khusus sastra.[20] Bahkan menjelang diberlakukannya kurikulum 1994, banyak isu yang beredar, yang antara lain menyebutkan bahwa pada kurikulum ini tidak akan lagi ada komponen sastra di dalam bidang studi bahasa Indonesia. Konon, bidang studi sastra akan dipisahkan dari pelajaran bahasa Indonesia, seperti ditulis oleh HD Haryo Sasongko[21] dan disinggung pula oleh Pamusuk Eneste dalam artikelnya.[22] Meskipun kenyataan yang banyak dibayangkan dan (mungkin) memang diharapkan oleh banyak peminat sastra itu tidak terwujud—karena ternyata Kurikulum 1994 masih memasukkan sastra sebagai bagian bidang ajar bahasa Indonesia—isu-isu seperti itu secara tidak langsung telah mempunyai pengaruh positif dalam memandang dan memposisikan pengajaran maupun pembelajaran sastra.

Faktor yang ikut memperparah tidak signifikannya atau bahkan gagalnya pengajaran maupun pembelajaran sastra di sekolah adalah pada guru itu sendiri. Bukan suatu rahasia lagi bahwa sebagian besar guru sastra adalah guru bahasa yang lebih memberikan perhatian kepada permasalahan bahasa, utamanya pada masalah-masalah teknis. Bahkan, seperti dikemukakan oleh I Wayan Artika, banyak guru sastra yang “tidak menyukai sastra”.[23] Maka, dengan “pengakuan” semacam ini, apa yang dapat diharapkan? Oleh karena itu, jika pengajaran sastra berada dalam posisi terpuruk, bukan sesuatu yang perlu diherankan. Namun permasalahannya tentu bukan hanya pada “keheranan” atau tidaknya, melainkan pada apa upaya atau langkah-langkah yang dapat dijalankan untuk memperbaiki kenyataan yang sedemikian itu.

Siasat Pembelajaran Sastra

Sejumlah gagasan, ide, rencana, tindakan nyata, serta sumbang saran melalui tulisan di pelbagai media dan kesempatan, maupun pemikiran-pemikiran positif lain yang dikemukakan oleh berbagai kalangan, telah merebak dan membawa angin perubahan dalam pengelolaan maupun praktik pengajaran dan pembelajaran sastra. Hasanuddin WS dalam tulisannya yang telah disebut di depan, mengatakan, “Apapun kondisinya, semua perbincangan yang berkaitan dengan masalah sastra dan pengajaran sastra semestinya disyukuri dan dicermati karena fenomena tersebut merupakan indikator kepedulian banyak pihak terhadap keberlangsungan kehidupan kesastraan sebagai bagian kebudayaan republik ini. Fenomena ini tampak dengan jelas menempatkan posisi sastra sebagai hal yang penting dan tidak boleh diabaikan.”[24]

Sehubungan dengan langkah nyata yang sudah dan masih dilakukan, tidak dapat diketepikan sejumlah kegiatan. Pertama, yang segera harus disebut dalam hal pemikiran serta kontribusi konkretnya adalah pihak majalah sastra Horison—di bawah “komando” Taufiq Ismail—dalam mewujudkan rencana aksinya. Ada 6 kegiatan yang pernah dan masih dilaksanakan, yaitu (1) penerbitan sisipan Kakilangit [sejak November 1996] dalam majalah Horison yang dimaksudkan sebagai wahana apresiasi sastra yang terfokus maupun sarana penampung tulisan kreatif dan opini para siswa serta guru, (2) pelatihan MMAS [Membaca, Menulis, Apreasiasi Sastra] sejak Februari 1999 yang ditujukan untuk menyadarkan maupun meningkatkan pemahaman para guru akan hakikat maupun dinamika sastra, (3) kegiatan SBSB [Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya] yang dilaksanakan sejak tahun 2000 dan disponsori oleh The Ford Foundation bagi suatu kegiatan interaktif antara para sastrawan dengan para siswa dari sejumlah sekolah di Indonesia, (4) kegiatan SBMM [Sastrawan Bicara Mahasiswa Membaca] yang dilaksanakan sejak tahun 2000 dimaksudkan sebagai tempat berdialog atau berdiskusi antara para mahasiswa yang sebagian telah membaca karya-karya seorang sastrawan atau lebih dengan para sastrawan itu, (5) kegiatan sayembara LMKS [Lomba Mengulas Karya Sastra] dan LMCP [Lomba Menulis Cerita Pendek] untuk para guru yang dimaksudkan sebagai sarana meningkatkan kemampuan mengapresiasi dan menulis ulasan maupun fiksi, dan (7) kegiatan SSSI [Sanggar Sastra Siswa Indonesia] yang merupakan bengkel kerja bagi upaya meningkatkan kebiasaan membaca, menulis, dan mengapresiasi sastra dengan bimbingan para alumni kegiatan MMAS.[25]

Selain Horison, tidak dapat diabaikan juga adalah strategi lembaga PPPG yang terus-menerus giat mengadakan pelatihan TOT maupun penataran lain bagi para calon instruktur maupun para guru umumnya dengan melibatkan tenaga-tenaga terlatih dari Universitas Indonesia, Universitas Negeri Jakarta, Universitas Pendidikan Indonesia, maupun dari lembaga lain. Meskipun dari segi jumlah masih sedikit, dibandingkan dengan jumlah guru se-Indonesia, pelatihan atau penataran semacam ini sangat efektif dalam kaitan membuka cakrawala berpikir atau bersikap mengenai dunia sastra. Dari beberapa kali pelatihan, sangat terlihat adanya perubahan yang signifikan pada diri para guru itu akan apa yang seharusnya mereka lakukan ketika mereka kembali ke sekolah masing-masing sebagai guru bahasa dan sastra Indonesia. Hanya sayangnya, kegiatan yang dilaksanakan oleh PPPG ini kurang ditunjang pendanaannya oleh Departemen Pendidikan Nasional Indonesia. Bukan hanya aspek honorarium yang sangat kecil bagi para pelatih, tetapi juga keberlangsungannya tidak dapat terlalu diharapkan terus-menerus, sementara jumlah guru yang “harus” mengikuti pelatihan ini jumlahnya ribuan. Satu-satunya harapan adalah, para instruktur yang sudah mengikuti TOT, dapat dan mampu menularkan pengetahuan atau ilmunya kepada kolega di daerahnya. Hanya saja, hasil dari kegiatan yang terakhir ini belum dapat diperoleh gambaran maupun datanya.

Lembaga lain yang harus disebut meskipun sumbangan nyatanya dalam mengubah paradigma pembelajaran sastra tidak terlalu kelihatan akibat dari belum terencananya kegiatan, adalah HISKI (Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia) dan HPBI (Himpunan Pembina Bahasa Indonesia) yang kadangkala mengadakan semacam pelatihan, penataran, lokakarya, seminar, atau konferensi yang berhubungan dengan masalah bahasa dan sastra. Kedua himpunan ini dinyatakan sebagai belum mempunyai rencana kegiatan yang jelas dan langsung, dalam kaitannya dengan peningkatan pembelajaran bahasa dan sastra, karena kedua lembaga ini adalah lembaga profesi yang lebih sering berkutat dengan permasalahan internalnya saja, selain memang bahwa kedua himpunan ini tidak mempunyai sumber dana yang pasti.

Apa yang digambarkan pada bagian ini, yang memberikan deskripsi perihal kegiatan yang diprakarsai oleh Horison, PPPG, HISKI, maupun HPBI, mestilah dipandang sebagai suatu dinamika positif yang memberikan sumbangan berarti bagi suatu perkembangan kehidupan sastra maupun pengajaran dan pembelajaran sastra di Indonesia dewasa ini. Jika apa yang dilakukan oleh lembaga atau himpunan-himpunan ini ditunjang pula oleh aktivitas individual yang berperspektif masa depan, seperti tumbuhnya kesadaran akan peran sentral guru dalam kurikulum, pemberdayaan aspek kreatif dalam pembelajaran sastra, pemahaman yang berwawasan luas akan materi kurikulum yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi setempat, kesediaan diri para guru untuk juga mereformasi sikap dan meluaskan bacaan mereka, serta terus-menerus memperbarui variasi metode pengajarannya, niscaya pembelajaran sastra akan mengarah dan menuju kepada suatu wilayah yang amat membahagiakan, bermanfaat untuk orang banyak, dan mampu meninggikan martabat guru itu sendiri maupun khazanah sastra Indonesia sendiri.

Harapan

Akhirnya memang hanya sebuah harapan. Mudah-mudahan, dengan berbagai upaya, rencana, strategi, ancangan, maupun kehendak untuk selalu mengaktualisasi diri dan menerapkan prinsip-prinsip demokratisasi dalam pembelajaran sastra, kehidupan akademis maupun kehidupan sastra itu sendiri dapat berjalan beriringan dan saling memanfaatkan. Untuk saat ini, di Indonesia, dapat dikatakan sebagai masa gemilang dalam hal dunia penciptaan sastra. Para pengarang baru bermunculan, menawarkan berbagai gaya dan tema, serta diam-diam telah mampu memposisikan diri sebagai sebuah ranah yang tidak lagi seperti orang tua yang terbungkuk-bungkuk sambil sesekali batuk-batuk, tetapi telah menjelma diri sebagai gadis manis yang selalu diimpi-impikan dan dirindui banyak orang. Di Indonesia sekarang, orang cenderung tidak malu-malu lagi membawa atau membaca novel mutakhir di keramaian atau di tempat-tempat umum. Malahan, karya-karya fiksi Indonesia sekarang sudah menjadi benda hadiah untuk berbagai perhelatan dan acara.

Oleh karena itu, dengan kenyataan kesastraan yang sedemikian ini, maka sinergi antara dunia penciptaan sastra dengan dunia pembelajaran sastra sepatutnya tidak terkendala lagi. Tinggal berpulang kepada para guru sendiri, untuk bersedia membuka diri, meluaskan wawasan, serta memperkaya bacaan sastranya agar hakikat yang tersirat dalam kurikulum yang terakhir ini dapat dioperasionalkan secara maksimal.

Kamis, 22 Maret 2012

Penggunaan Bahasa Indonesia Vs Bahasa Gaul

Dewasa ini, pemakaian Bahasa Indonesia baik dalam kehidupan nyata maupun fiksi, mulai mengalami interferensi dan mulai bergeser digantikan dengan pemakaian bahasa gaul. Dengan memakai bahasa gaul, pemakainya akan dikatakan sebagai orang kota yang modern dan bukan orang daerah yang kurang modern. Anggapan seperti ini jelas salah, karena bahasa gaul sangat dekat dengan bahasa Betawi yang merupakan salah satu bahasa daerah juga di Indoensia. Antara bahasa Indonesia dan bahasa gaul, tentunya lebih modern dan lebih maju adalah bahasa Indonesia. Hal ini karena Bahasa Indonesia merupakan bahasa tingkat nasional yang berasal dari bahasa-bahasa daerah di Indonesia dan bahasa asing. Sebaliknya, bahasa gaul hanya merupakan bahasa tingkat daerah yang berasal dari bahasa Betawi.
Peniruan bahasa gaul oleh masyarakat luas di Indonesia tentu saja berdampak negatif terhadap pemakaian bahasa Indonesia secara baik dan benar pada saat ini dan pada masa yang akan datang. Saat ini jelas di masyarakat sudah banyak adanya pemakaian bahasa gaul dan parahnya lagi generasi muda Indonesia juga tidak lepas dari pemakaian bahasa gaul ini. Bahkan, para generasi muda inilah yang paling banyak memakai bahasa gaul daripada memakai Bahasa Indonesia.

Bahasa Indonesia ialah bahasa yang terpenting di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Dengan menggunakan Bahasa Indonesia secara baik dan benar, berarti kita telah menjunjung tinggi bahasa persatuan seperti yang diikrarkan dalam sumpah pemuda pada 28 Oktober 1928. Menjunjung tinggi bahasa Indonesia, tidak berarti kita melupakan bahasa daerah kita masing-masing. Kita tidak harus berbahasa Indonesia secara terus-menerus sepanjang hayat kita.

Kita lebih baik baik berbahasa daerah daripada berbahasa gaul dalam situasi yang tidak resmi. Mengapa demikian? Karena dengan berbahasa daerah, kita sudah melestarikan bahasa daerah yang menjadi pemerkaya bahasa nasional dan sekaligus pemerkaya bangsa Indonesia. Sebaliknya, jika menggunakan bahasa gaul di daerah kita sendiri dengan orang-orang sebahasa daerah, kita akan dicap tidak mencintai dan tidak melestarikan bahasa daerah sendiri. Kebiasaan menggunakan bahasa gaul membuat kita terikut menggunakan sebagian kata bahasa gaul, dalam penggunaan Bahasa Indonesia baku.

Dengan kata lain terjadi interferensi (pengacauan) bahasa gaul ke dalam pemakaian Bahasa Indonesia baku. Kata yang sering muncul dari bahasa gaul dalam pemakaian Bahasa Indonesia baku, seperti kata nggak atau gak (bahasa gaul) yang seharusnya kata tidak (Bahasa Indonesia). Hal ini harus kita hindari sejauh mungkin dalam kehidupan kita

Para orang tua, guru dan pemerintah sangat dituntut kinerja mereka dalam menanamkan dan menumbuhkembangkan pemahaman dan kecintaan anak-anak Indonesia terhadap Bahasa Indonesia. Dengan demikian, pemakaian Bahasa Indonesia secara baik dan benar pada saat ini dan pada masa depan, dapat meningkat.

Bahasa Nasional Mempersatukan Bangsa

Bangsa Indonesia, bangsa besar dan sedang dalam proses pembangunan. Sebagai sebuah bangsa besar yang sedang membangun, Indonesia memerlukan generasi-generasi penerus yang andal di berbagai bidang untuk dapat mewujudkan masyarakat adil, makamur dan merata. Untuk menjadikan generasi penerus bangsa ini sebagai sumber daya manusia yang andal dan tangguh diperlukan pendidikan bermutu di setiap daerah.

Dalam hal pendidikan di Indonesia, kita lebih banyak mendapatkan pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu dengan Bahasa Indonesia baku atau benar. Bahasa Indonesia baku bagi sebagian besar orang Indonesia merupakan bahasa kedua setelah menguasai bahasa pertama atau bahasa ibu. Walaupun sebagai bahasa kedua, Bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar dalam dunia pendidikan. Karena itu, para generasi bangsa kita harus mengusai Bahasa Indonesia agar dapat memiliki banyak pengetahuan, sehingga menjadi sumber daya manusia yang andal dan dapat membangun bangsa ini secara optimal. Mendapatkan pengetahuan bukan hanya dari jalur pendidikan di sekolah atau di perguruan tinggi, juga di masyarakat luas.

Dewasa ini begitu banyak informasi yang beredar di sekitar kita dari segala penjuru dunia yang sebagian besar dikemas dalam Bahasa Indonesia baku. Mulai dari buku-buku pelajaran, surat kabar, hingga berita-berita di televisi, informasi tersebar di sekeliling kita. Jangan heran, jika tidak mengikuti perkembangan informasi, kita akan menjadi orang asing di masyarakat kita sendiri! Kita akan merasa tersisihkan dalam pergaulan jika tidak mau mengikuti pekembangan informasi yang tersebar di berbagai media, baik media cetak maupun media elektronik.

Penyebaran informasi, baik yang berupa peristiwa, ilmu, maupun penemuan-penemuan terbaru disajikan secara lisan dan tulisan. Secara lisan sering kita temui dalam media elektronik, seperti televisi dan radio. Informasi yang disampaikan secara tertulis dapat kita jumpai di media elektronik, seperti informasi di internet dan juga di media cetak, seperti surat kabar, majalah, dan buku-buku.

Kenyataan ini mengharuskan para generasi penerus Bangsa Indonesia harus mampu menguasai Bahasa Indonesia baku. Bahasa Indonesia baku adalah bahasa Indonesia yang benar secara kaidah kebahasaan di Indonesia. Hal ini membuktikan, Bahasa Indonesia sangat penting dalam membentuk generasi bangsa yang cerdas dan kompetitif.

Selain itu Bahasa Indonesia juga mempersatukan bangsa. Dengan terbentuknya generasi cerdas dan kompetitif, Bangsa Indonesia akan mudah dalam proses pembangunan yang hingga saat ini, masih digalakkan di berbagai bidang kehidupan. Karena itulah diharapkan para generasi penerus bangsa ini harus mendapatkan pemahaman betapa pentingnya penggunaan Bahasa Indonesia terhadap kemajuan Bangsa Indonesia. Dengan pemahaman itu, generasi penerus bangsa ini dengan sendirinya akan menjaga dan melestarikan Bahasa Indonesia dalam rangka mewujudkan Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang maju dan makmur secara merata di berbagai bidang kehidupan.

Melawan Bahasa Gaul

Untuk mengindari pemakaian bahasa gaul yang sangat luas di masyarakat pada masa depan, perlu adanya usaha pada saat ini menanamkan dan menumbuhkembangkan pemahaman dan kecintaan dalam diri generasi bangsa terhadap Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional. Para orangtua, guru dan pemrintah sangat dituntut kinerja mereka dalam menanamkan dan menumbuhkembangkan pemahaman dan kecintaan anak-anak Indonesia terhadap Bahasa Indonesia. Dengan demikian, pemakaian Bahasa Indonesia secara baik dan benar pada saat ini dan pada masa depan dapat meningkat.

Sehubungan dengan semakin maraknya penggunaan bahasa gaul yang digunakan oleh sebagian masyarakat Indonesia modern, perlu adanya tindakan nyata dari semua pihak yang peduli terhadap eksistensi bahasa Indonesia yang merupakan bahasa nasional, bahasa persatuan dan bahasa pengantar dalam dunia pendidikan.

Berkaitan dengan pemakaian bahasa gaul dalam dunia nyata dan fiksi yang menyebabkan interferesi ke dalam Bahasa Indonesia dan pergeseran Bahasa Indonesia di atas, ada hal-hal yang perlu dilakukan. Antara lain: Pertama, menyadarkan masyarakat Indonesia terutama para generasi penerus bangsa ini, Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional harus diutamakan penggunaannya. Dengan demikian, mereka lebih mengutamakan penggunaan Bahasa Indonesia secara baik dan benar daripada bahasa gaul. Penyadaran ini dapat dilakukan oleh para orang tua di rumah kepada anak-anak mereka. Dapat pula dilakukan oleh para guru kepada para siswa mereka. Selain itu, pihak pemerintah dapat bertindak secara bijak dalam menyadarkan masyarakat untuk mengutamakan penggunaan Bahasa Indonesia di negara kita.

Kedua, menanamkan semangat persatuan dan kesatuan dalam diri generasi bangsa dan juga masyarakat luas untuk memperkukuh Bangsa Indonesia dengan penggunaan Bahasa Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, Bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan yang dapat kita gunakan untuk merekatkan persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia. Dengan menanamkan semangat, masyarakat Indonesia akan lebih mengutamakan Bahasa Indonesia daripada menggunakan bahasa gaul. Cara menanamkannya dapat dilakukan di rumah, sekolah dan di masyarakat.

Ketiga, pemerintah Indonesia harus menekankan penggunaan Bahasa Indonesia dalam film-film produksi Indonesia. Baik film layar lebar maupun sinetron. Dengan penggunaan Bahasa Indonesia secara benar oleh para pelaku dalam film nasional yang diperankan aktor dan aktris idola masyarakat, masyarakat luas juga akan mengunakan Bahasa Indonesia seperti para idola mereka.

Keempat, meningkatkan pengajaran Bahasa Indonesia di sekolah dan di perguruan tinggi. Para siswa dan mahasiswa dapat diberikan tugas praktik berbahasa Indonesia dalam bentuk dialog dan monolog pada kegiatan bermain drama, dalam bentuk diskusi kelompok, penulisan artikel dan makalah dan juga dalam bentuk penulisan sastra seperti cerita pendek dan puisi. Dengan praktik-praktik berbahasa Indonesia, dapat mengembangkan kreativitas berbahasa Indonesia mereka dan juga dapat membiasakan mereka berbahasa Indonesia secar baik dan benar

Sebagian masyarakat Indonesia yang paling gemar berbahasa gaul adalah para generasi muda bangsa kita. Kenyataan ini harus segera diatasi mengingat betapa pentingnya bahasa Indoensia bagi bangsa Indonesia. Sebagai warga Indonesia yang baik, kita seharusnya dapat menggunakan Bahasa Indonesia secara baik dan benar. Bahasa gaul memang bukan bahasa yang dilarang penggunaannya, tetapi kita harus ingat bahasa gaul dipakai dalam kelompok tertentu saja. Kita sebaiknya tidak menggunakan bahasa gaul di luar kapasitasnya. Dengan demikian, terciptalah penggunaan Bahasa Indonesia dan bahasa gaul yang terpisah atau tidak ada interferensi bahasa gaul ke dalam bahasa Indonesia dan tidak ada pergeseran penggunaan bahasa Indonesia oleh penggunaan bahasa gaul.